Air Asam Tambang (AAT) atau Acid
Mine Drainage (AMD) merupakan bahaya lingkungan terbesar dari aktivitas
pertambangan (batubara, mineral logam, maupun uranium) baik pertambangan di
negara-negara berkembang atau maju, baik pertambangan yang masih aktif maupun yang
sudah tidak aktif (bekas tambang). Banyak oran g
menyepelekan masalah AAT baik kalangan umum, pemerintah, dan bahkan ind ustri pertambangan
sendiri. Kalangan umum memang wajar jika tidak terlalu memperdulikan problem AAT
karena ketidak-tahuan akibat tiadanya informasi.
Dan jika ketidak-tahuan (atau ketidak-mau-tahuan) terjadi di kalangan
pemerintah (daerah) maupun pelaku ind ustri
pertambangan, maka ini berita buruk. Mengapa? Karena masalah AAT yang berasal dari aktivitas pertambangan ini
telah diatur sejak 13 tahun silam melalui Kepmen Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 1211.KJOO8/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum dan
Permen Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003.
Memang
jika kita baca kedua peraturan tersebut tidak ada secara eksplisit disebut
mengenai AAT, hanya ada peraturan mengenai nilai ambang batas pH yaitu 6-9
(Permen Lingkungan Hidup No. 113 Tahun 2003). Terkadang aturan mengenai pH ini
membuat kita mengambil kesimpulan yang salah, yakni menganggap pH rendah
sebagai sesuatu yang buruk. Kesimpulan salah ini ternyata masih dipercaya
kebenarannya bahkan oleh pelaku pertambangan. pH memang berhubungan erat dengan
keasaman (acidity) namun pH hanyalah indikator konsentrasi ion-ion hidrogen dalam air dan bukanlah
indikator utama adanya AAT .
Air Asam Tambang (AAT)
Air dengan pH rendah belum
tentu AAT dan juga belum tentu berbahaya. Air dengan pH yang sama-sama rendah bisa
berasal dari sumber yang berbeda contohnya yang berasal dari areal tambang dan
lainnya berasal dari air rawa/gambut. Air dengan pH rendah dari areal
pertambangan ini disebut AAT dan berbahaya, namun air dengan pH rendah pada daerah
rawa atau gambut tidak mematikan atau berbahaya bagi lingkungan. Pada AAT,
keasaman air berasal dari oksidasi pirit (Pyrite, FeS2) dengan air
dan udara menghasilkan asam sulfur (H2SO4) sedangkan pada
air pada lahan gambut/rawa berasal dari asam-asam polyuronic di dalam
dinding sel Sphagnum (tumbuhan yang banyak terdapat di gambut/rawa)
dalam bentuk senyawa COOH.
Keasaman (acidity) dan
juga ke-basa-an (alkalinity) dinyatakan dalam mg/l CaCO3.
Nah, biasanya air dengan pH rendah aciditynya juga rendah, namun pada AAT total acidity-nya sangat-sangat tinggi
(110-64.000 mg/l CaCO3) sedangkan pada air gambut hanyalah berkisar
0.56 – 0.82 mg/l CaCO3. Selain itu, karakteristik lain yang berbeda
antara AAT dan air gambut/rawa meski memiliki pH sama rendah adalah tingkat
konduktivitas yang tinggi pada AAT (600 – 30.000 µS/cm) dan rendah pada air
gambut/rawa (<100 µS/cm) yang terkait dengan kemampuan AAT untuk melarutkan
logam berat.
AAT, terutama yang mengalir,
memiliki kemampuan untuk melarutkan logam berat dari material yang dilewatinya,
umumnya material tanah/batuan penutup pada operasi pertambangan terbuka. Jenis
logam berat yang bisa terlarut antara lain: arsenik, kadmium, tembaga, perak,
dan seng. Seluruh logam berat ini jika konsentrasinya dalam air melibihi nilai
ambang batas, akan sangat mematikan bagi tumbuhan dan hewan yang hidup di
perairan.
Sumber dan
Bahaya AAT
AAT berasal dari reaksi mineral
pirit dengan udara dan air. Mineral pirit sebenarnya adalah mineral yang paling
umum di temukan pada kerak bumi. Aktivitas penggalian utamanya dalam skala luas
pada kerak bumi seperti pada aktivitas pertambangan akan menyebabkan
mineral-mineral pirit terkspose terhadap air dan udara sehingga akhirnya
terjadilah AAT. Batuan atau tanah yang banyak mengandung pirit dan menjadi
sumber AAT disebut dengan Acid Rock Drainage (ACD). ARD ini dapat
terus-menerus menjadi sumber terjadinya AAT bahkan dapat bertahan hingga ratusan
tahun (hasil studi Nordstrom dan Alpers (1999) dan Kalin et al. (2006)).
Artinya, jika material ARD ini
terus-menerus dibiarkan maka ia akan terus-menerus memproduksi AAT, sehingga
efek buruknya juga akan berlangsung terus-menerus.
Efek buruk AAT adalah ia sangat
mematikan bagi organisme perairan terutama organisme kecil termasuk ikan. AAT tidak juga hanya mencemari perairan namun
juga tanah dan lahan. AAT juga meningkatkan laju pelarutan dan melepaskan
berbagai jenis logam (utamanya logam berat) yang semakin meningkatkan efek
negatif AAT terhadap lingkungan. Bahaya bagi manusia? Tentu air yang
terkontaminasi AAT sangat tidak layak untuk dikonsumsi dan AAT dengan sifat
korosifnya yang tinggi dapat membuat infrastruktur seperti jembatan dapat cepat
berkarat dan rusak.
Negara-negara
maju seperti Kanada, Amerika, dan Australia ternyata masih menderita kerugian
dari AAT yang berasal dari aktivitas pertambangan puluhan bahkan seratus tahun
lampau. Di Australia, biaya rehabilitasi lahan dan perairan untuk menanggulangi
AAT mencapai US $ 60 juta (Rp. 600 Milyar) per tahun. Di Kanada bahkan ada
departemen khusus untuk menangani AAT
yaitu or National Mine Environment Neutral Drainage (Penetralan Air di
Lingkungan Tambang Nasional/NMEND).
AAT di Kalsel
Problem AAT di Kalsel adalah sesuatu
yang nyata dan bukanlah hanya suatu keniscayaan. Dengan banyaknya aktifitas
pertambangan batubara yang ekstensif terutama maraknya penambangan ilegal
(PETI) beberapa tahun lampau di Kalsel maka dapat dipastikan AAT telah menjadi problem
nyata. Bukaan bekas tambang PETI dan tumbukan overburden (lapisan penutup)
batubara yang menyebabkan terekspose-nya material Acid Rock Drainage (ARD)
yang kaya mineral pirit menyebabkan adanya sumber AAT yang kontinu sepanjang
waktu selama ada air dan udara yang berea ksi
dengan pirit.
Ratusan pelaku tambang-tambang kecil yang memperoleh ijin KP dari Bupati
sangat sedikit atau bahkan tidak sama sekali melakukan upaya pengelolaan AAT. Beberapa
tambang besar (pemegang ijin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara/PKP2B)
telah melakukan usa ha
pengelolaan AAT dengan benar sehingga berhasil menetralkan AAT sebelum masuk ke
perairan umum. Sebagian lainnya hanya melakukan upaya pengelolaan AAT setengah
hati sehingga hasilnya masih belum sesuai ketentuan (pH netral 6-7) atau
membangun kolam pengendapan dan pengelolaan yang tidak cukup untuk meng-cover
seluruh AAT di areal tambang. Dengan demikian, AAT telah secara umum mengalir
ke perairan umum di Kalsel.
Ke depan
Isu AAT harus senantiasa dihidupkan
di Kalsel karena AAT bukanlah masalah sepele namun masalah serius yang dampak
negatifnya tidak hanya akan dirasakan generasi saat ini namun juga generasi
mendatang. Masyarakat harus
mengetahui bahaya AAT ini secara benar karena merekalah yang pertama kali akan
merasakan dampak buruknya. Meningkatnya kesadaran lingkungan masyarakat dalam
hal AAT akan memberikan social pressure bagi seluruh pelaku pertambangan
di Kalsel untuk tidak mengabaikan kewajibannya mengelola AAT dari areal
tambangnya dan memastikan seluruh air yang berasal dari areal tersebut telah
memenuhi semua parameter kualitas air sesuai ketentuan Permen LH No. 13 Tahun
2003.
Pemerintah,
utamanya Pemkab, harus juga pro-aktif untuk mengantisipasi dan menanggulangi
problem AAT ini. Pemkab harus punya tanggung-jawab moral untuk menjaga
lingkungannya dan tidak hanya terus-menerus menerbitkan KP yang taken for
granted tanpa disertai upaya pengawasan bagaimana aktivitas penambangan
setelah KP terbit. Ijin KP yang ratusan jumlahnya dalam satu kabupaten bukanlah
suatu yang rasional. Hal ini menunjukkan bahwa pemkab-pemkab yang
menerbitkannya tidak memiliki sense of belonging terhadap lingkungan dan
hanya memiliki sense of getting money secara instan dan cepat. Secepat
suatu ijin KP dari eksplorasi sampai produksi keluar yang tanpa disertai upaya
pengawasan bagaimana pemilik KP melakukan aktifitas pertambangannya, maka akan
secepat itu pula kerusakan lingkungan akan terjadi, tidak hanya terkait AAT
namun juga kerusakan lahan berserta keaneka-ragaman hayati di atasnya.
Lebih
jauh, pemerintah harus juga mempersiapkan tenaga-tenaga teknis yang kompeten
untuk mengawasi aktifitas pertambangan. Kompetensi ini sangat penting dimiliki pemkab
untuk menghadapi pelaku pertambangan yang umumnya profesional, sehingga
misalnya terjadi adu argumentasi dengan pelaku usaha pertambangan, maka petugas
teknis pemkab akan bisa meng-counternya dengan tepat. Misalnya, ada argumen
yang menyatakan bahwa menetralisir pH pada AAT tidak penting karena di
Kalimantan airnya banyak yang ber-pH rendah. Dengan adanya tenaga teknis yang
kompeten, tentu argumen ini dapat dengan mudah dipatahkan.
Kita
memang dikenal sebagai bangsa yang memiliki banyak aturan namun sekaligus
bangsa yang gemar melakukan pelanggaran terhadap aturan yang kita buat sendiri.
Peraturan hanya macan kertas jika tanpa disertai tindakan tegas
implementasinya. Peraturan yang ada sudah sangat jelas bahwa AAT harus dikelola
dan hasilnya harus sudah sesuai peraturan yang berlaku sebelum AAT dialirkan ke
perairan umum. There is no excuse. Sudah saatnya eksploitasi sumberdaya
mineral (terutama batubara) tidak lagi mengorbankan lingkungan.
Kebijakan
no excuse atau zero tolerance terhadap pelaku pertambangan
mengenai AAT akan membuat pelaku pertambangan untuk lebih besar lagi menambah budget pengelolaan lingkungan
dan tidak melulu mengejar target produksi sementara target keberhasilan pengelolaan
lingkungan selalu dinafikan. Budget yang cukup dalam pengelolaan lingkungan
tidak hanya akan menentukan keberhasilan pengelolaan AAT di areal tambang namun
juga akan mendorong industri pertambangan untuk mencoba metode dan teknologi
baru pengelolaan AAT.
Selama ini hanya satu
teknologi yang dikenal dan dipraktekkan oleh pelaku pertambangan besar dan
kecil di Kalsel dalam rangka pengelolaan AAT yaitu melarutkan kapur atau
gamping dalam kolam pengendapan dan pengelolaan (settling pond) AAT,
padahal di dunia pertambangan masih banyak metode lain yang tersedia baik
pengelolaan pasif (passive treatment) maupun aktif (active treatment)
AAT. Metode-metode ini tidak melulu memakai teknologi canggih, malah justru
saat ini teknologi-teknologi yang ramah lingkungan seperti memanfaatkan
tumbuhan perairan rawa/gambut (constructed wetlands) yang dikembangkan
untuk mengatasi AAT. Kemandegan metode pengelolaan AAT di Kalsel ini akan pecah
jika kebijakan no excuse atau zero tolerance diterapkan kepada
seluruh pelaku pertambangan yang beroperasi di Kalsel.
Didik Triwibowo, ST, MEnvMan
Alumni Program Master of
Environmental Management, The University
of Queensland , Australia
Email: didik.triwibowo@uqconnect.edu.au,
d12k3w@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar